Bersediakah
Anda mengerjakan apapun yang saat ini menjadi pekerjaan Anda, seandainya Anda
tidak dibayar sepeser pun untuk itu? Bersediakah Anda menjual produk dan jasa
yang sekarang Anda jual, seandainya Anda tidak mendapatkan gaji, insentif, atau
komisi dari penjualan tersebut? Bersediakah Anda menjadi akuntan publik,
seandainya Anda tidak mendapatkan imbalan uang sama sekali?
Bersediakah
Anda melakukan pekerjaan sebagai dokter, sekalipun tak ada yang mau membayar
Anda untuk itu? Bersediakah Anda bekerja sebagai pengacara, kalau hal itu tidak
memberikan manfaat finansial bagi Anda? Bersediakah Anda bekerja sebagai
insinyur sipil, arsitek, pembawa acara televisi, musisi, penyanyi, penari,
penulis, ekonom, hakim, jaksa, polisi, tentara, anggota DPR, pejabat
pemerintah, guru, pembicara, motivator, dan sebagainya, jika pekerjaan itu
tidak mendatangkan uang buat Anda?
Jika
jawabannya adalah YA, maka Anda sedang dalam perjalanan menuju sukses.
Begitulah
salah satu nasihat Oprah Winfrey, ratu talk-show dunia yang kesohor itu. “Jika
Anda bersedia melakukan pekerjaan Anda yang sekarang tanpa menerima bayaran,
Anda dalam perjalanan menuju sukses,” katanya. Sebab, jika Anda tidak
digerakkan oleh motivasi uang, maka ada kekuatan lain yang lebih besar yang
menggerakkan Anda. Kekuatan itu boleh disebut dengan nama apapun-inner power,
the giant within, DNA sukses, hasrat inti, burning desire, the spirit of
success, dan sebagainya yang jelas kekuatan macam itulah yang menuntun orang
meraih sukses.
Nasihat
Oprah itu bisa juga dibaca demikian: “Jika Anda bersedia melakukan pekerjaan
Anda yang sekarang semata-mata karena menerima bayaran, Anda dalam perjalanan menuju
kegagalan.” Sebab jika Anda bekerja setiap harinya sekadar untuk mendapatkan
gaji setiap bulannya, maka pekerjaan itu pastilah bukan pekerjaan yang
menantang bagi jiwa Anda. Pekerjaan itu hanyalah sekadar nafkah yang tidak
mendorong Anda untuk meraih sesuatu yang lebih besar dari sekadar materi. Pekerjaan
itu tidak menggali bakat-bakat, kemampuan, hasrat dan pilihan-pilihan terbaik
Anda. Pekerjaan semacam itu tidak perlu terkait dengan ketetapan hati
(pikiran-perasaan-kemauan), sesuatu yang justru sangat penting untuk bisa
membuat Anda sukses.
Sungguh
menantang untuk mengetahui “apa yang bersedia kita lakukan, sekalipun hal itu
tidak mendatangkan uang. Sebab sejak kecil kita diajar untuk mengejar nilai
baik dalam tiap ulangan dan ujian di sekolah, tetapi kita tidak diberi contoh
bagaimana belajar secara baik. Akibatnya, kita belajar untuk mendapatkan nilai
dengan cara menyontek. Kita tidak diajar untuk bersedia memilih jujur,
sekalipun mendapatkan nilai jelek di rapor sekolah. Akibatnya kita terbiasa menganggap
kejujuran sebagai suatu ‘tindakan bodoh’ yang harus dihindari sebisanya. Dan
karena biasa menyontek, maka kita tidak biasa mempertanyakan
minat-bakat-ambisi-hasrat kita yang terdalam. Kita terbiasa untuk menjadi
ikut-ikutan, menjadi manusia rata-rata, menjadi bagian dari gerombolan yang tak
punya tujuan, tanpa identitas, tanpa rasa tanggung jawab. Kita telah dikelabui
oleh cara berpikir “habis sekolah cari kerja yang menghasilkan banyak uang
secepat-cepatnya, dengan cara apapun juga”.
Sungguh
penting mengambil waktu memikirkan “apa yang bersedia saya lakukan, sekalipun
hal itu tidak menghasilkan uang”. Rutinitas kerja mencari nafkah telah
mengaburkan pandangan banyak orang mengenai apa yang sungguh-sungguh diinginkan
jiwanya, atau apa yang sebenarnya merupakan tugas dan panggilan hidupnya.
Rutinitas
kerja telah menjadi belenggu baja yang memasung segala potensi, sehingga tak
kunjung teraktualisasi. Rutinitas kerja telah membuat banyak orang lupa
mengejar makna, mencari jawaban yang lebih baik mengenai apa sebabnya ia
dilahirkan di bumi ini. Rutinitas kerja telah memasung kreativitas, menurunkan
kecerdasan dari tahun ke tahun, sekadar untuk melakukan pekerjaan yang
berulang-ulang, yang membuat otak berfungsi minimum, yang membuat hidup terasa
membosankan. Rutinitas kerja telah membuat orang lupa bahwa kerja juga
merupakan ibadah untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah. Rutinitas kerja
mengantar orang sampai pensiun. Lalu mati. Tanpa kontribusi. Tanpa makna.
Sungguh
menarik untuk menemukan kembali, “apa yang bersedia saya lakukan, sekali pun
hal itu tidak menghasilkan uang”. Sebab usaha untuk menjawabnya akan menuntun
kita masuk ke dalam batin kita, melakukan ziarah spiritual, mengaktivasi
kembali kompas jiwa yang lama tersandera. Jalannya pasti tak mudah dan tidak
bisa instan. Berbagai kerak dan kotoran batin mesti dikeluarkan lebih dulu,
sebelum mencapai kebeningan hati. Persis seperti penggali sumur yang berupaya
menemukan air bersih. Ia harus mengebor tanah sampai kedalaman beberapa meter,
lalu mengeluarkan air berlumpur secara terus menerus, dengan tekun, dengan
ketetapan hati, dengan keyakinan bahwa kebeningan menanti di kedalaman. Setelah
menggali sekian puluh meter, ia mungkin baru menemukan air berpasir putih, yang
menjadi penanda bahwa sumber air yang jernih telah dekat. Seperti itulah pula
pertanyaan reflektif “apa yang bersedia saya lakukan, sekalipun hal itu tidak
menghasilkan uang” perlu diselenggarakan. Dilakukan secara secara terus
menerus, dengan tekun, dengan ketetapan hati, dengan keyakinan bahwa kebeningan
menanti di kedalaman.
Berani
mencoba? Refleksi macam begini, memang, bukan untuk orang pengecut!